Jumat, 15 Maret 2013

TEORI TEORI BELAJAR


Pada hakekatnya manusia adalah mahluk yang mempunyai kecenderungan untuk belajar. Manusia adalah mahluk yang selalu ingin tahu. Sifat keingintahuan manusia ini merupakan faktor pendorong dari dalam dirinya untuk belajar. Berkaitan dengan kegiatan belajar, Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya yang pertama diturunkan mengatakan: ﺍﻗﺭﺃ yang berarti “bacalah”.(Bachtiar Surin. 2002. h. 2693) Kata bacalah mengandung pengertian yang sangat luas, antara lain: Pertama, membaca sesuatu yang tersirat atau sesuatu yang ditangkap manusia dari sekelilingnya, seperti membaca lingkungan, membaca fenomena alam, membaca tingkah laku manusia dan lain-lain. Kedua, membaca sesuatu yang tersurat, yaitu sesuatu yang tertulis seperti buku-buku pengetahuan, membaca artikel, membaca karangan dan lain sebagainya.
Melalui kegiatan membaca ini manusia mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya demi meningkatkan harkat dan martabatnya dalam menjalani kehidupan. Di sini jelas bahwa kata “iqra” mengandung makna belajar.
Di sisi lain, Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
 (ﺭﻭﺍﻩﺍﺒﻦﻋﺒﺩﺍﻟﺒﺭ ) ﻁﻠﺏﺍﻟﻌﻟﻡﻓﺭﻴﻀﺔﻋﻟﻰﻜﻝﻤﺴﻟﻡﻭﻤﺴﻟﻤﺔ Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim dan muslimat. (Moh Rifa’i. 1980, h. 43) Dalam hadits-hadits yang lain yang berkenaan dengan belajar juga disebutkan antara lain sebagai berikut: (ﺭﻭﺍﻩﺍﺒﻦﻋﺩﻯﻭﺍﻠﺒﻴﻬﻗﻰ) ﺍﻁﻠﺏﺍﻠﻌﻠﻡﻭﻠﻭﺒﺎﻠﺼﻴﻦ  Carilah ilmu walau di Negeri China. Dan  ﺍﻁﻠﺏﺍﻠﻌﻠﻡﻤﻦﺍﻠﻤﻬﺩﺍﻠﻰﺍﻠﻠﺤﺩ  Carilah ilmu sejak dari ayunan hingga ke liang lahad.
Adalah dua faktor yang saling memperkuat dorongan manusia untuk melakukan kegiatan belajar. Pertama, faktor internal yang datang dari dalam diri manusia, yakni sifat manusia yang berkecenderungan untuk belajar, dan kedua, faktor eksternal yang merupakan kewajiban atas manusia untuk menuntut ilmu tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.
Ditinjau dari sudut etimologi bahasa Indonesia kata belajar memiliki kata dasar ajar yang mengandung pengertian petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (dituruti). Belajar berarti berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu (Pusat Bahasa. 2001). Beberapa defisisi belajar dikemukakan oleh para ahli sebagaimana dipaparkan di bawah ini.
E. R. Hilgrad dan A. G. Marquis dalam buku yang ditulis  Rasyad mendefinisikan belajar sebagai: Learning is the process by which an activity originates or is changed through training procedure (whether in the laboratory or in natural environment) as distringuished from changes by factor not attributable to training. (Aminuddin Rasyad. 2006, h. 28)
Menurut mereka belajar merupakan proses mencari ilmu yang terjadi dalam diri seseorang melalui latihan, pembelajaran dan sebagainya sehingga terjadi perubahan dalam diri orang tersebut. Proses mencari ilmu di sini bisa saja dilakukan dalam ruang laboratorium (in door) di bawah bimbingan guru maupun usaha/belajar sendiri, atau dapat pula dilaksanakan di lingkungan alam (out door) tempat proses belajar terjadi.
James L. Mursell dalam Rasyad mendefinisikan belajar sebagai: Learning is experience, explanation and discovery. Belajar adalah upaya yang dilakukan dengan mengalami sendiri, menjelajahi dan menemukan sendiri. Definisi ini mengandung pengertian bahwa orang belajar harus aktif dalam mencari dan menemukan ilmu yang dibutuhkan. (Aminuddin Rasyad. 2006).
Henry E, Garret dalam Rasyad menyatakan: Learning is the process which as result of training and experience leads to new or changed responses. Belajar merupakan proses yang berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama melalui latihan ataupun pengalaman yang membawa kepada perubahan diri dan perubahan cara mereaksi terhadap suatu perangsang tertentu. (Aminuddin Rasyad. 2006).
Lester Crow dan Alice Crow, sepasang suami istri ini mendefinisikan belajar sebagai berikut: “Learning is acuitition of habits, knowledge, and attitudes. Belajar adalah upaya untuk memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap-sikap.” (Aminuddin Rasyad. 2006, h. 29).
Robert M. Gagne dalam Rasyad mengemukakan bahwa:
Learning is a change in human disposition or capacity, which persists over a period time, and which is not simply ascribable to process of growth. Menurutnya belajar adalah perubahan yang terjadi setelah proses yang berlangsung terus menerus, bukan dikarenakan oleh proses pertumbuhan saja.” (Aminuddin Rasyad. 2006, h. 31).
Menurut Gagne, bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah berlangsung secara terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Ia berkeyakian bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor yang datang dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) diri manusia yang keduanya saling berinteraksi.
Di dalam bukunya yang berjudul Pedoman Khusus Pembelajaran Tuntas, Mukminan berpendapat bahwa pada prinsipnya belajar adalah proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara siswa dengan sumber-sumber atau obyek belajar, baik yang secara sengaja dirancang (by design) maupun yang tidak sengaja dirancang, namun dimanfaatkan.    (Mukminan. 2004. h. 5)
Berkaitan dengan konsep belajar, Rasyad (Aminuddin Rasyad. 2006, h. 42) mengemukakan teori koneksionis Edward L. Thorndike sebagai berikut:
Berdasarkan identifikasi Thorndike mengenai karakteristik belajar binatang tingkat rendah dan manusia dilakukan secara trial and error dan oleh Thorndike disebutnya learning by selecting and connecting.Percobaan yang tipikal dilakukan oleh Thorndike kepada orang belajar, ialah orang dihadapkannya kepada situasi yang mengandung masalah, yang mengharuskan dan mendorongnya untuk keluar dari masalah tersebut, seperti seekor binatang yang kelaparan dimasukkannya kedalam kotak bermasalah (problem box) yang pada bagian lainnya terdapat makanan. Binatang ini akan mencoba mencari jalan yang banyak rintangan itu untuk mencapai makanan yang tersedia itu. Demikian pula halnya manusia yang sedang belajar, ia akan mencoba melakukan berbagai cara dan kemungkinan untuk keluar dari masalah atau memecahkanya. Menurut Thorndike trial is the length of time ( or number of errors) involved in a single reaching of goal.
Teori belajar Thorndike ini akhirnya melahirkan tiga hukum belajar. Ketiga hukum belajar Thorndike ini menjadi pengingat bagi guru dalam memberikan arah kepada siswa bagaimana seharusnya belajar sehingga memperoleh hasil yang bermakna.
Dalam bukunya yang berjudul Teori Pembelajaran dan Pengajaran, Smith menjelaskan tiga hukum belajar Thorndike itu sebagai berikut:
“Hukum Efek” menyatakan bahwa ketika sebuah koneksi antara stimulus dan respon diberi imbalan positif, ia akan diperkuat, dan ketika diberi imbalan negatif, ia akan diperlemah. Thorndike kemudian “merevisi” hukum ini ketika dia menemukan bahwa imbalan negatif (hukuman) tidak memperlemah ikatan, dan bahwa sebagian konsekuensi yang tampaknya bisa menyenangkan tidak memotivasi prestasi.
“Hukum latihan” menyatakan bahwa semakin ikatan S-R (stimulus respons) dipraktikkan lebih kuat, maka ia akan menjadi kuat. Sama halnya dengan hukum efek, hukum latihan juga harus dimutakhirkan ketika Thorndike menemukan bahwa praktik tanpa umpan balik tidak memperluas prestasi.
“Hukum kesiapan” menyatakan bahwa disebabkan karena struktur sistem syaraf, unit konduksi tertentu, dalam suatu situasi tertentu, menjadi lebih mempengaruhi perilaku dari pada yang lain. (Mark K. Smith, dkk. 2009, h. 79-80)
Hukum efek (the law of effect) mengacu kepada penguatan atau melemahnya hubungan antara stimulus dan respons sebagai akibat dari keduanya. Bila dalam belajar terdapat adanya kepuasan atau kesenangan secara emosional, maka kekuatan hubungan antara S–R makin meningkat. Sebaliknya bila dalam situasi belajar tidak terdapat yang demikian tapi adanya rasa kebosanan atau suasana mengganggu, maka hubungan antara stimulus dan respons (S-R) melemah.
Secara pedagogis hukum belajar ini menantang para pendidik untuk menciptakan suasana hati dalam proses belajar mengajar. Dengan suasana belajar yang kondusif, seperti menyenangkan cara guru menyajikan pokok bahasannya dengan penampilan yang mengesankan, maka semua rangsangan atau kesan penginderaan (sens impression) atau (S) yang mengenai syaraf sensorik dan respons (R) akan terjadi hubungan antar keduanya secara baik. Sehingga materi pengajaran yang disajikan tersebut akan terasa terasosiasi, terkoneksi satu dengan yang lainnya, maka oleh Thorndike dikatakan belajar memberi hasil (effect).
Menurut teori dan hukum belajar dengan latihan, the law of exercise, tiada belajar tanpa latihan. Karena latihan yang dilakukan dapat membentuk kebiasaan dan keterampilan yang dapat mengubah tingkah laku pelajar. Sebab penggunaan latihan atau the law of use menurut Thorndike sangat penting karena akan dapat melatih respon terhadap pekerjaan yang akan dilakukan atas stimulus. Secara metodologis, hukum belajar Thorndike ini sudah dilakukan di mana mana baik secara formal maupun informal. Sebagai contoh  pendidikan membaca Al-Quran yang banyak dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan agama di Indonesia.  Tanpa latihan pembelajaran membaca Al-Quran tidak menampakkan hasil karena tidak terbentuk kebiasaan menghadapi stimulus. Jadi latihan adalah stimulus (S) yang menjadi perangsang bagi orang belajar untuk mereaksi dan mengerjakan atau menyelesaikannya.
Hukum kesiapan the law of readiness, secara pedagogis didaktik mengingatkan para pendidik untuk menyiapkan kondisi peserta didik menerima pengajaran yang akan disajikannya. Maka masalah kesehatan alat indera sangat ikut menentukan keberhasilan proses belajar mengajar. Menurut hukum ini, bahwa sebenarnya proses belajar mengajar tidak terlepas dari hukum kesiapan menerima rangsangan belajar dari pendidik atau guru. Artinya guru secara berencana menyiapkan stimulus (S) melalui bidang studi yang diajarkan, sehingga pihak murid akan siap menerima rangsangan belajar untuk diresponnya (R) melalui mendengarkan, menyimak, mengerjakan berbagai tugas yang telah disiapkan guru. Sebab itu menurut konsep media pengajaran, bahwa penyediaan alat-alat belajar termasuk ke dalam upaya readiness, sehingga proses belajar dapat berlangsung dengan baik. (Aminuddin Rasyad. 2006, h. 30)
Teori-teori tentang belajar telah banyak dikemukakan para ahli psikologi dan sangat berpengaruh terhadap konsep belajar. Pemahaman terhadap teori-teori belajar ini diperlukan bagi pendidik sebagai alat analisis terhadap tingkah laku atau sikap belajar siswa dalam menerima pelajaran. Sehingga dengan demikian teori belajar ini dapat diterapkan dalam situasi belajar yang sesuai dengan sikap dan kondisi siswa yang dihadapi.
Mencermati beberapa pendapat dan teori-teori tentang belajar yang dikemukakan di atas, maka dapatlah dipahami bahwa pertama, sejak manusia dilahirkan dan inderanya mulai berfungsi sejak saat itulah belajar dimulai. Kedua, selaras dengan perkembangan kemampuan indrawi, belajar dapat dilakukan secara sengaja (sadar) atau tidak sengaja (tidak sadar), karena hasil rekaman indra seseorang akan tersimpan di dalam memorinya yang pada saatnya akan menjadi pengetahuan atau ilmu bagi dirinya. Ketiga, belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Oleh karena itu, maka dapat dipahami pula bahwa yang dimaksud dengan belajar adalah proses mencari ilmu atau pengetahuan dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat manusia melalui aktivitas pengembangan kemampuan diri seseorang, baik disengaja maupun tidak disengaja, di dalam ruang terbatas maupun tidak terbatas, dan dilakukan sepanjang hayat dikandung badan.
                                                                                  Jakarta, 15 Maret 2013
Sumber bacaan:
Aminuddin Rasyad. 2006. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Uhamka Press dan Yayasan PEP-Ex 8
Bachtiar Surin. 2002. Az-Zikra Terjemah dan Tafsir Alquran. Bandung: Penerbit Angkasa
Mark K. Smith, dkk. 2009. Teori Pembelajaran danPengajaran: Mengukur Kesuksesan Anda dalam Proses Belajar dan Mengajar Bersama Psikolog Pendidikan Dunia. Terjemahan Abdul Qodir Shaleh. Jakarta: Mirza Media Pustaka
Moh Rifa’i. 1980. 300 Hadits Bekal Da’wah dan Pembina Pribadi Muslim.Semarang : Penerbit Wicaksono
Mukminan. 2004. Pedoman Khusus Pembelajaran Tuntas. Jakarta: Subdis Pendidikan SMU. Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Propinsi DKI Jakarta
Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar