Pada hakekatnya manusia
adalah mahluk yang mempunyai kecenderungan untuk belajar. Manusia adalah mahluk yang
selalu ingin tahu. Sifat
keingintahuan manusia ini merupakan faktor pendorong dari dalam
dirinya untuk
belajar. Berkaitan dengan kegiatan belajar, Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam
firman-Nya yang pertama diturunkan mengatakan: ﺍﻗﺭﺃ yang berarti “bacalah”.(Bachtiar Surin. 2002. h. 2693) Kata bacalah mengandung
pengertian yang sangat luas, antara lain: Pertama, membaca sesuatu
yang tersirat atau sesuatu yang ditangkap manusia dari sekelilingnya, seperti
membaca lingkungan, membaca fenomena alam, membaca tingkah laku manusia dan
lain-lain. Kedua, membaca sesuatu yang tersurat, yaitu sesuatu yang tertulis
seperti buku-buku pengetahuan, membaca artikel, membaca karangan dan lain
sebagainya.
Melalui kegiatan membaca
ini manusia mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya demi
meningkatkan harkat dan martabatnya dalam menjalani kehidupan. Di sini jelas bahwa kata
“iqra” mengandung makna belajar.
Di
sisi lain, Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
(ﺭﻭﺍﻩﺍﺒﻦﻋﺒﺩﺍﻟﺒﺭ ) ﻁﻠﺏﺍﻟﻌﻟﻡﻓﺭﻴﻀﺔﻋﻟﻰﻜﻝﻤﺴﻟﻡﻭﻤﺴﻟﻤﺔ Menuntut ilmu wajib
hukumnya bagi setiap muslim dan muslimat. (Moh
Rifa’i. 1980, h. 43) Dalam
hadits-hadits yang lain yang berkenaan dengan belajar juga disebutkan antara lain sebagai berikut: (ﺭﻭﺍﻩﺍﺒﻦﻋﺩﻯﻭﺍﻠﺒﻴﻬﻗﻰ) ﺍﻁﻠﺏﺍﻠﻌﻠﻡﻭﻠﻭﺒﺎﻠﺼﻴﻦ Carilah ilmu walau di Negeri China. Dan ﺍﻁﻠﺏﺍﻠﻌﻠﻡﻤﻦﺍﻠﻤﻬﺩﺍﻠﻰﺍﻠﻠﺤﺩ
Carilah ilmu sejak dari ayunan hingga ke liang lahad.
Adalah dua faktor yang
saling memperkuat dorongan manusia untuk melakukan kegiatan belajar. Pertama, faktor internal
yang datang dari dalam diri manusia, yakni sifat manusia yang berkecenderungan
untuk belajar, dan kedua, faktor eksternal yang merupakan kewajiban atas
manusia untuk menuntut ilmu tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.
Ditinjau dari sudut etimologi bahasa
Indonesia kata belajar memiliki kata dasar ajar yang mengandung pengertian
petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (dituruti). Belajar berarti berusaha memperoleh kepandaian atau
ilmu (Pusat
Bahasa. 2001). Beberapa defisisi belajar
dikemukakan oleh para ahli sebagaimana dipaparkan di bawah ini.
E. R. Hilgrad dan A. G. Marquis dalam
buku yang ditulis Rasyad mendefinisikan
belajar sebagai: Learning is the process by
which an activity originates or is changed through training procedure (whether
in the laboratory or in natural environment) as distringuished from changes by
factor not attributable to training. (Aminuddin Rasyad. 2006, h. 28)
Menurut mereka belajar
merupakan proses mencari ilmu yang terjadi dalam diri seseorang melalui
latihan, pembelajaran dan sebagainya sehingga terjadi perubahan dalam diri
orang tersebut. Proses mencari ilmu di sini bisa saja dilakukan dalam ruang laboratorium (in door) di bawah bimbingan guru maupun usaha/belajar sendiri, atau dapat pula
dilaksanakan
di lingkungan alam (out door) tempat proses belajar terjadi.
James L. Mursell dalam Rasyad
mendefinisikan belajar sebagai: Learning
is experience, explanation and discovery. Belajar adalah upaya yang
dilakukan dengan mengalami sendiri, menjelajahi dan menemukan sendiri. Definisi ini mengandung
pengertian bahwa orang belajar harus aktif dalam mencari dan menemukan ilmu
yang dibutuhkan. (Aminuddin
Rasyad. 2006).
Henry E, Garret dalam Rasyad
menyatakan: Learning is the process which
as result of training and experience leads to new or changed responses.
Belajar merupakan proses yang berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama
melalui latihan ataupun pengalaman yang membawa kepada perubahan diri dan
perubahan cara mereaksi terhadap suatu perangsang tertentu. (Aminuddin Rasyad. 2006).
Lester Crow dan Alice Crow, sepasang
suami istri ini mendefinisikan belajar sebagai berikut: “Learning is acuitition of habits, knowledge, and attitudes. Belajar
adalah upaya untuk memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan
sikap-sikap.” (Aminuddin
Rasyad. 2006, h. 29).
Robert
M. Gagne dalam Rasyad mengemukakan bahwa:
“Learning
is a change in human disposition or capacity, which persists over a period
time, and which is not simply ascribable to process of growth. Menurutnya
belajar adalah perubahan yang terjadi setelah proses yang berlangsung terus
menerus, bukan dikarenakan oleh proses pertumbuhan saja.” (Aminuddin Rasyad. 2006, h. 31).
Menurut Gagne, bahwa belajar adalah
perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah berlangsung secara terus
menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Ia berkeyakian
bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor yang datang dari dalam (internal) maupun
dari luar (eksternal) diri manusia yang keduanya saling berinteraksi.
Berkaitan dengan konsep belajar,
Rasyad (Aminuddin
Rasyad. 2006, h. 42) mengemukakan teori
koneksionis Edward L. Thorndike sebagai berikut:
Berdasarkan identifikasi
Thorndike mengenai karakteristik belajar binatang tingkat rendah dan manusia
dilakukan secara trial and error dan oleh Thorndike disebutnya learning by selecting and connecting.Percobaan
yang tipikal dilakukan oleh Thorndike kepada orang belajar, ialah orang
dihadapkannya kepada situasi yang mengandung masalah, yang mengharuskan dan
mendorongnya untuk keluar dari masalah tersebut, seperti seekor binatang yang
kelaparan dimasukkannya kedalam kotak bermasalah (problem box) yang pada bagian
lainnya terdapat makanan. Binatang ini akan mencoba mencari jalan yang banyak
rintangan itu untuk mencapai makanan yang tersedia itu. Demikian pula halnya
manusia yang sedang belajar, ia akan mencoba melakukan berbagai cara dan
kemungkinan untuk keluar dari masalah atau memecahkanya. Menurut Thorndike trial is the length of time ( or number of
errors) involved in a single reaching of goal.
Teori belajar Thorndike ini akhirnya melahirkan tiga
hukum belajar. Ketiga
hukum belajar Thorndike ini menjadi pengingat bagi guru dalam memberikan arah
kepada siswa bagaimana seharusnya belajar sehingga memperoleh hasil yang
bermakna.
Dalam bukunya yang berjudul Teori
Pembelajaran dan
Pengajaran, Smith menjelaskan tiga hukum belajar Thorndike itu sebagai berikut:
“Hukum Efek” menyatakan bahwa ketika
sebuah koneksi antara stimulus dan respon diberi imbalan positif, ia akan
diperkuat, dan ketika diberi imbalan negatif, ia akan diperlemah. Thorndike
kemudian “merevisi” hukum ini ketika dia menemukan bahwa imbalan negatif
(hukuman) tidak memperlemah ikatan, dan bahwa sebagian konsekuensi yang
tampaknya bisa menyenangkan tidak memotivasi prestasi.
“Hukum
latihan” menyatakan bahwa semakin ikatan S-R (stimulus respons) dipraktikkan
lebih kuat, maka ia akan menjadi kuat. Sama halnya dengan hukum efek, hukum
latihan juga harus dimutakhirkan ketika Thorndike menemukan bahwa praktik tanpa
umpan balik tidak memperluas prestasi.
“Hukum kesiapan” menyatakan bahwa
disebabkan karena struktur sistem syaraf, unit konduksi tertentu, dalam suatu
situasi tertentu, menjadi lebih mempengaruhi perilaku dari pada yang lain. (Mark K. Smith, dkk. 2009,
h. 79-80)
Hukum efek (the law of effect) mengacu kepada penguatan atau melemahnya
hubungan antara stimulus dan respons sebagai akibat dari keduanya. Bila dalam belajar terdapat
adanya kepuasan atau kesenangan secara emosional, maka kekuatan hubungan antara
S–R makin meningkat. Sebaliknya
bila dalam situasi belajar tidak terdapat yang demikian tapi adanya rasa
kebosanan atau suasana mengganggu, maka hubungan antara stimulus dan respons
(S-R) melemah.
Secara pedagogis hukum belajar ini
menantang para pendidik untuk menciptakan suasana hati dalam proses belajar
mengajar. Dengan suasana belajar yang kondusif, seperti menyenangkan cara guru
menyajikan pokok bahasannya dengan penampilan yang mengesankan, maka semua
rangsangan atau kesan penginderaan
(sens impression) atau (S) yang mengenai syaraf sensorik dan respons (R) akan terjadi
hubungan antar keduanya secara baik. Sehingga materi pengajaran yang disajikan tersebut akan
terasa terasosiasi, terkoneksi satu dengan yang lainnya, maka oleh Thorndike
dikatakan belajar memberi hasil (effect).
Menurut teori dan hukum belajar dengan
latihan, the law of exercise, tiada
belajar tanpa latihan. Karena
latihan yang dilakukan dapat membentuk kebiasaan dan keterampilan yang dapat
mengubah tingkah laku pelajar.
Sebab penggunaan latihan atau the law of
use menurut Thorndike sangat penting karena akan dapat melatih respon
terhadap pekerjaan yang akan dilakukan atas stimulus. Secara metodologis, hukum
belajar Thorndike ini sudah dilakukan di mana mana baik secara formal maupun
informal. Sebagai contoh pendidikan
membaca Al-Quran yang banyak dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan agama di
Indonesia. Tanpa latihan pembelajaran
membaca Al-Quran tidak menampakkan hasil karena tidak terbentuk kebiasaan
menghadapi stimulus. Jadi
latihan adalah stimulus (S) yang menjadi perangsang bagi orang belajar untuk
mereaksi dan mengerjakan atau menyelesaikannya.
Hukum kesiapan the law of readiness, secara pedagogis didaktik mengingatkan para
pendidik untuk menyiapkan kondisi peserta didik menerima pengajaran yang akan
disajikannya. Maka masalah kesehatan alat indera sangat ikut menentukan
keberhasilan proses belajar mengajar. Menurut hukum ini, bahwa sebenarnya
proses belajar mengajar tidak terlepas dari hukum kesiapan menerima rangsangan
belajar dari pendidik atau guru. Artinya guru secara berencana menyiapkan
stimulus (S) melalui bidang studi yang diajarkan, sehingga pihak murid akan
siap menerima rangsangan belajar untuk diresponnya (R) melalui mendengarkan,
menyimak, mengerjakan berbagai tugas yang telah disiapkan guru. Sebab itu
menurut konsep media pengajaran, bahwa penyediaan alat-alat belajar termasuk ke
dalam upaya readiness, sehingga
proses belajar dapat berlangsung dengan baik. (Aminuddin Rasyad. 2006, h. 30)
Teori-teori tentang belajar telah
banyak dikemukakan para ahli psikologi dan sangat berpengaruh terhadap konsep
belajar. Pemahaman
terhadap teori-teori belajar ini diperlukan bagi pendidik sebagai alat analisis
terhadap tingkah laku atau sikap belajar siswa dalam menerima pelajaran. Sehingga dengan demikian
teori belajar ini dapat diterapkan dalam situasi belajar yang sesuai dengan
sikap dan kondisi siswa yang dihadapi.
Mencermati beberapa pendapat dan
teori-teori tentang belajar yang dikemukakan di atas, maka dapatlah dipahami
bahwa pertama, sejak manusia dilahirkan dan inderanya mulai berfungsi sejak
saat itulah belajar dimulai. Kedua, selaras dengan perkembangan kemampuan
indrawi, belajar dapat dilakukan secara sengaja (sadar) atau tidak sengaja
(tidak sadar), karena hasil rekaman indra seseorang akan tersimpan di dalam
memorinya yang pada saatnya akan menjadi pengetahuan atau ilmu bagi dirinya.
Ketiga, belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Oleh karena itu,
maka dapat dipahami pula bahwa yang dimaksud dengan belajar adalah proses
mencari ilmu atau pengetahuan dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat
manusia melalui aktivitas pengembangan kemampuan diri seseorang, baik disengaja
maupun tidak disengaja, di dalam ruang terbatas maupun tidak terbatas, dan
dilakukan sepanjang hayat dikandung badan.
Jakarta,
15 Maret 2013
Sumber
bacaan:
Aminuddin
Rasyad. 2006. Teori Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: Uhamka Press dan Yayasan PEP-Ex 8
Bachtiar Surin. 2002. Az-Zikra Terjemah dan Tafsir Alquran. Bandung:
Penerbit Angkasa
Mark K. Smith, dkk. 2009. Teori Pembelajaran danPengajaran: Mengukur
Kesuksesan Anda dalam Proses Belajar dan Mengajar Bersama Psikolog Pendidikan
Dunia. Terjemahan Abdul Qodir Shaleh.
Jakarta: Mirza Media Pustaka
Moh Rifa’i. 1980. 300 Hadits Bekal Da’wah dan Pembina Pribadi Muslim.Semarang :
Penerbit Wicaksono
Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.